TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK
PERAWAT
Selasa 22 januari 2012- Charli erik
Upaya-upaya bidang kesehatan
selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya
perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk
menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan
model praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun
perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan
manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap)
karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai sub sistem
tenaga kesehatan lainnya.
Mengingat hal – hal tersebut kita
perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan –
perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti
Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset)
tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka
sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya.
Pada tahun 1970an rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an
perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004
perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang
Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien
yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga
dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat
tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa,
Hospital At Home akan menjadi salah satu model anyar yang perkembangannya
akan sangat pesat.
Implikasinya bagi perawat dan
praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan
praktik dalam model Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya.
Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi
praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat
kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2)
Perawat dimungkinkan menjadi manager/ leader dalam menentukan atau memberikan
pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang
sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan
kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain
memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini
yang paling penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak
fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien
dengan jumlah paling ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi
tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan
dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara scientific approach.
Berdasarkan uraian tersebut
jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang
bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang
tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan
tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home
(Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan
untuk segera mengembangkan model ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah
Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah
keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one tools one patien/home, maka bisa
dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik
kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah
sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic
dan legal dalam mengenalkan model pelayanan Hospital At Home tersebut agar
tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi.
Dian Roslan Hidayat S.Kep M.Kes
Direktur Utama Intan Nursing
Center Garut
Dosen Stikes Karsa Husada Garut
LARANGAN BERJILBAB BAGI PERAWAT
Pilu..Itulah
perasaan seorang Winnie Dwi Mandella, perawat di RS Mitra Keluarga Bekasi
Barat. Betapa tidak? Di negeri mayoritas Muslim ini, ia diperlakukan tidak
adil. Dipecat dari pekerjaannya hanya karena mengenakan kerudung/jilbab.
Alasan pihak
manajemen adalah sesuai peraturan perusahaan, tidak memakai pakaian seragam
kerja yang telah ditetapkan perusahaan berikut perlengkapannya sesuai dengan
perlengkapan di unit kerja masing-masing. Padahal tertuang dalam UU No. 13
/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 huruf c, menyatakan bahwa pengusaha
dilarang memutuskan hubungan kerja dengan alas an pekerja/buruh menjalankan
ibadah yang diperintahkan agamanya. Artinya, undang-undang tersebut mengikat
seluruh rakyat Indonesia beribadah menjalankan seluruh perintah dan menjauhi
segala larangan-Nya. Dalam Islam sendiri diwajibkan bagi perempuan yang telah
baliq untuk menutup rapat auratnya kecuali muka dan telapak tangan. Tindakan
rumah sakit tersebut yang memecat perawat karena mengenakan jilbab adalah
sebuah kesewenang-wenangan.
Dalam UUD 1945
Pasal 29 ayat 2 diatur bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya.” Jelas bahwa siapapun berhak berjilbab di tempat kerjanya.
Jadi, jika ada yang melanggar pasal tersebut, perusahaan perlu merevisi
peraturannya.
I Wayan Titib Sulaksana,
SH., M.S.
Dosen Hukum FH UNAIR & Ketua YLBHI Surabaya
Manusia sebagai makhluk sosial
yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat,
senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga
norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban
di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada
kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat
terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain
sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti
hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah 2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan 3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.
Ketiga faktor tersebut memerlukan
piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada
kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan
kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan
tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh
hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba
memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting
peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan
kesehatan.
I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992
tentang Kesehatan
I.1. BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3 Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
I.2. Pasal 1 Ayat 4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
II. Keputusan Menteri kesehatan
Republik Indonesia Nomor:
1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
II.1. BAB I Ketentuan Umum Pasal 1
:
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya). 3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).
ketentuan Pidana yang diatur dalam
Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah
satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4)
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut
diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal
tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat
(1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan :
“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
perorangan/berkelompok (garis
bawah saya).
5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik
II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8
:
1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau berkelompok. 2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya). 3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya).
Pasal 9 Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya
disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan
praktek perawat
(2).SIPP hanya diberikan kepada
perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki
pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.
Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.
Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk : a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan. b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi. d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya).
Pengecualian pasal 15 adalah pasal
20;
(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Pasal 21
(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya). (2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya).
Pasal 31
(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang : a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut. b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi. (2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.
Di dalam praktek apabila terjadi
pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung
mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan
ketentuan-
Sebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar
Kalangan
perawat tetap menginginkan payung hukum dalam bentuk undang-undang untuk
menjamin rekrutmen, pendidikan dan pelayanan yang berkualitas.
Pada
12 Mei 2008 lalu, depan gedung DPR RI dipenuhi belasan ribu pengunjuk rasa
berseragam putih-putih. Tidak seperti biasanya dimana pengunjuk rasa adalah
mahasiswa atau elemen pro-demokrasi lainnya, kali itu para pengunjuk rasa
adalah para perawat. Mereka tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional
Indonesia (PPNI).
Tuntutan
PPNI dalam unjuk rasanya tentu tidak terkait dengan masalah kenaikan harga
atau menurunkan rezim pemerintahan. Tuntutan mereka utamanya hanyalah
mendesak agar pemerintah dan DPR segera meng-gol-kan RUU Keperawatan.
Perlunya
perlindungan hukum, dalam bentuk undang-undang, terhadap profesi perawat
adalah sebuah keniscayaan. Pandangan ini dilontarkan Dewi Irawaty, Dekan
Fakultas Ilmu Keperawatan UI kepada hukumonline yang ditemui dalam
acara Peluncuran Progam Doktoral Ilmu Keperawatan UI di Jakarta, akhir pekan
lalu.
Keberadaan
profesi perawat, kata Dewi, selama ini bukannya tanpa dasar hukum. �Memang
selama ini ada beberapa aturan hukum yang mengatur mengenai perawat. Tapi
bukan dalam sebuah undang-undang. Paling hanya keputusan Menteri Kesehatan,�
ucap Dewi.
Bagi
Dewi, profesi perawat yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
kemaslahatan umat, seharusnya diatur dalam sebuah undang-undang. �Perawat ini
butuh aturan hukum yang lebih tinggi yang mengatur mengenai kualitas dan
pelayanan termasuk juga sanksi bagi perawat yang tidak melaksanakan tugasnya
dengan baik.�
Hal
senada diungkapkan Harif Fadhilah. Sekretaris I PPNI ini melihat adanya
ketidakharmonisan dalam beberapa regulasi seputar perawat. �Dalam beberapa
regulasi yang ada, terjadi ketidakharmonisan pengaturan dalam segi
perekrutan, pendidikan maupun pelayanan kesehatan oleh perawat,� jelas Harif
via telepon Jumat (19/9).
Saking
pentingnya undang-undang ini, jelas Harif, sampai-sampai PPNI mengaku sudah
memperjuangkannya sejak tahun 1989. �Walaupun konsep RUU-nya baru kami
telurkan pada 1998. Hingga saat ini, kami sudah menyempurnakan RUU ini hingga
19 kali. Sekarang sedang penyempurnaan yang kedua puluh kalinya.�
Meski
sudah berpuluh kali disempurnakan, pemerintah tak kunjung memprioritaskan
untuk segera dibahas di Senayan. Pasca demonstrasi Mei lalu itu, PPNI memilih
�potong kompas�. Mereka mendesak agar RUU Keperawatan dijadikan RUU inisiatif
DPR. �Kami sempat senang karena Ketua DPR sudah berkirim surat ke Badan
Legislatif DPR untuk memprioritaskan RUU ini ke dalam Prolegnas 2008. Sayang,
hingga kini tak ada kabar gembira lagi dari gedung DPR itu,� keluh Harif.
Problem rekrutmen
Seperti
ditegaskan Harif, perangkat hukum yang ada saat ini masih memicu masalah
sendiri bagi dunia keperawatan. Dari segi rekrutmen misalnya. Menurut Harif,
meski ada Keputusan Menkes bernomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan
Praktik Perawat, ternyata tidak sesuai dengan harapan.
Rekrutmen
perawat, kata Harif, seharusnya melalui sebuah uji kompetensi. Praktiknya
selama ini hanya melalui uji formalitas. �Selama ini hanya berdasarkan
kelulusan formalitas saja dari perguruan tinggi atau akademi kesehatan.
Padahal untuk melayani kesehatan masyarakat, dibutuhkan perawat yang
berkualitas yang dihasilkan melalui uji kompetensi.�
Masalah
mendasar yang muncul kemudian adalah lembaga yang berwenang menguji
kompetensi calon perawat. �Kalau praktik di luar negeri, instansi yang
berwenang menguji kompetensi adalah konsil perawat, yaitu semacam badan
independen,� timpal Dewi.
PPNI
dalam RUU Keperawatan memang tegas menyebut Konsil Keperawatan Indonesia
sebagai suatu badan otonom yang bersifat independen. Salah satu tugas konsil
ini adalah melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat. Selain itu,
Konsil juga bertugas untuk menyusun standar pendidikan dan pembinaan terhadap
praktik penyelenggaraan profesi perawat.
Di
Indonesia, lembaga Konsil ini dikenal dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Tugasnya mirip dengan konsil yang ada dalam RUU
Keperawatan. Bedanya, konsil dalam UU Praktik Kedokteran ditujukan bagi
dokter umum dan dokter gigi.
Bagi
Dewi, seharusnya tidak ada pembedaan perlakuan antara profesi dokter dengan
perawat. Toh keduanya sama-sama melayani masyarakat dalam bidang kesehatan.
�Jadi kalau di dunia kedokteran ada konsil, harusnya juga ada nursing
regulatory body bagi
perawat.�
Tidak Bisa Bersaing
Jika
dirunut, masalah rekrutmen dan registrasi perawat bisa menimbulkan masalah
lain. Salah satunya mengenai daya saing tenaga kerja perawat Indonesia dengan
perawat luar negeri.
Harif
menuturkan contoh ketika pada suatu waktu tenaga perawat Indonesia hanya bisa
�dipakai� sebagai pembantu perawat di Jepang. Sekadar ilustrasi, menurut
Harif, dalam dunia keperawatan internasional dikenal empat jenjang. Paling
buncit adalah jenjang pembantu perawat.
PPNI
merasa riskan dengan kondisi dan kemampuan daya saing perawat Indonesia ini.
Apalagi saat ini Indonesia sudah menandatangani Mutual
Recognition Arrange (MRA), semacam perjanjian pertukaran perawat
di antara negara-negara ASEAN. Januari 2010 nanti, MRA itu sudah resmi
berlaku. �Nanti jadi apa perawat Indonesia di luar negeri?� Harif khawatir.
Ketidakprofesionalan
rekrutmen dan sistem registrasi perawat juga bisa berdampak pada pelayanan
kesehatan ke masyarakat. Dengan kondisi dimana sebaran dokter belum merata di
seluruh Indonesia, maka perawat diharapkan bisa menjadi ujung tombak
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.
�Walaupun
sebenarnya tindakan kesehatan atau medis yang diambil seorang perawat adalah
tindakan yang sifatnya emergency. Nantinya perawat
itu harus segera melakukan tindakan kolaboratif dengan dokter. Oleh karena
itu, kami juga membekali perawat dengan mata kuliah pengobatan yang sifatnya emergency,� papar Dewi.
RUU
Keperawatan lebih jauh mengatur mengenai tindakan medik terbatas yang bisa
dilakukan oleh perawat yaitu sebagai jenis dan bentuk tindakan medik yang
disepakati bersama dengan profesi kedokteran melalui ketetapan menteri
kesehatan dan dilakukan oleh perawat professional yang kompeten dibidangnya.
Menurut
Harif, pengaturan hukum mengenai kewenangan perawat mengambil tindakan medis
terbatas itu mutlak diperlukan untuk melindungi perawat. �Karena ada salah
satu pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang bisa dipakai untuk menjerat
perawat. Ini terbukti. Ada beberapa perawat kami di daerah yang ditangkapi
polisi,� pungkasnya.
(IHW)
|