Senin, 21 Januari 2013

keperawatan



TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWAT
Selasa 22 januari 2012- Charli erik
Upaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan model praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai sub sistem tenaga kesehatan lainnya.
Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset) tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi salah satu model anyar yang perkembangannya akan sangat pesat.
Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan praktik dalam model Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/ leader dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini yang paling penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah paling ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara scientific approach.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan model ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one tools one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan legal dalam mengenalkan model pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi.

Dian Roslan Hidayat S.Kep M.Kes
Direktur Utama Intan Nursing Center Garut
Dosen Stikes Karsa Husada Garut
LARANGAN BERJILBAB BAGI PERAWAT
Pilu..Itulah perasaan seorang Winnie Dwi Mandella, perawat di RS Mitra Keluarga Bekasi Barat. Betapa tidak? Di negeri mayoritas Muslim ini, ia diperlakukan tidak adil. Dipecat dari pekerjaannya hanya karena mengenakan kerudung/jilbab.
Alasan pihak manajemen adalah sesuai peraturan perusahaan, tidak memakai pakaian seragam kerja yang telah ditetapkan perusahaan berikut perlengkapannya sesuai dengan perlengkapan di unit kerja masing-masing. Padahal tertuang dalam UU No. 13 /2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153 huruf c, menyatakan bahwa pengusaha dilarang memutuskan hubungan kerja dengan alas an pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. Artinya, undang-undang tersebut mengikat seluruh rakyat Indonesia beribadah menjalankan seluruh perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dalam Islam sendiri diwajibkan bagi perempuan yang telah baliq untuk menutup rapat auratnya kecuali muka dan telapak tangan. Tindakan rumah sakit tersebut yang memecat perawat karena mengenakan jilbab adalah sebuah kesewenang-wenangan.
Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 diatur bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.” Jelas bahwa siapapun berhak berjilbab di tempat kerjanya. Jadi, jika ada yang melanggar pasal tersebut, perusahaan perlu merevisi peraturannya.
I Wayan Titib Sulaksana, SH., M.S.
Dosen Hukum FH UNAIR & Ketua YLBHI Surabaya
Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah
2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan
3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.
Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.
I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
I.1. BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
I.2. Pasal 1 Ayat 4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
II.1. BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).
3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).
ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan :
“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
perorangan/berkelompok (garis bawah saya).
5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik
II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 :
1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau berkelompok.
2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya).
3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya).
Pasal 9 Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat
(2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.
Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.
Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :
a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya).
Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;
(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Pasal 21
(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya).
(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya).
Pasal 31
(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :
a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.
Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuan-
Sebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar
Kalangan perawat tetap menginginkan payung hukum dalam bentuk undang-undang untuk menjamin rekrutmen, pendidikan dan pelayanan yang berkualitas.
Pada 12 Mei 2008 lalu, depan gedung DPR RI dipenuhi belasan ribu pengunjuk rasa berseragam putih-putih. Tidak seperti biasanya dimana pengunjuk rasa adalah mahasiswa atau elemen pro-demokrasi lainnya, kali itu para pengunjuk rasa adalah para perawat. Mereka tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Tuntutan PPNI dalam unjuk rasanya tentu tidak terkait dengan masalah kenaikan harga atau menurunkan rezim pemerintahan. Tuntutan mereka utamanya hanyalah mendesak agar pemerintah dan DPR segera meng-gol-kan RUU Keperawatan.
Perlunya perlindungan hukum, dalam bentuk undang-undang, terhadap profesi perawat adalah sebuah keniscayaan. Pandangan ini dilontarkan Dewi Irawaty, Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan UI kepada hukumonline yang ditemui dalam acara Peluncuran Progam Doktoral Ilmu Keperawatan UI di Jakarta, akhir pekan lalu.
Keberadaan profesi perawat, kata Dewi, selama ini bukannya tanpa dasar hukum. �Memang selama ini ada beberapa aturan hukum yang mengatur mengenai perawat. Tapi bukan dalam sebuah undang-undang. Paling hanya keputusan Menteri Kesehatan,� ucap Dewi.
Bagi Dewi, profesi perawat yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan umat, seharusnya diatur dalam sebuah undang-undang. �Perawat ini butuh aturan hukum yang lebih tinggi yang mengatur mengenai kualitas dan pelayanan termasuk juga sanksi bagi perawat yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.�
Hal senada diungkapkan Harif Fadhilah. Sekretaris I PPNI ini melihat adanya ketidakharmonisan dalam beberapa regulasi seputar perawat. �Dalam beberapa regulasi yang ada, terjadi ketidakharmonisan pengaturan dalam segi perekrutan, pendidikan maupun pelayanan kesehatan oleh perawat,� jelas Harif via telepon Jumat (19/9).
Saking pentingnya undang-undang ini, jelas Harif, sampai-sampai PPNI mengaku sudah memperjuangkannya sejak tahun 1989. �Walaupun konsep RUU-nya baru kami telurkan pada 1998. Hingga saat ini, kami sudah menyempurnakan RUU ini hingga 19 kali. Sekarang sedang penyempurnaan yang kedua puluh kalinya.�
Meski sudah berpuluh kali disempurnakan, pemerintah tak kunjung memprioritaskan untuk segera dibahas di Senayan. Pasca demonstrasi Mei lalu itu, PPNI memilih �potong kompas�. Mereka mendesak agar RUU Keperawatan dijadikan RUU inisiatif DPR. �Kami sempat senang karena Ketua DPR sudah berkirim surat ke Badan Legislatif DPR untuk memprioritaskan RUU ini ke dalam Prolegnas 2008. Sayang, hingga kini tak ada kabar gembira lagi dari gedung DPR itu,� keluh Harif.
Problem rekrutmen
Seperti ditegaskan Harif, perangkat hukum yang ada saat ini masih memicu masalah sendiri bagi dunia keperawatan. Dari segi rekrutmen misalnya. Menurut Harif, meski ada Keputusan Menkes bernomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, ternyata tidak sesuai dengan harapan.
Rekrutmen perawat, kata Harif, seharusnya melalui sebuah uji kompetensi. Praktiknya selama ini hanya melalui uji formalitas. �Selama ini hanya berdasarkan kelulusan formalitas saja dari perguruan tinggi atau akademi kesehatan. Padahal untuk melayani kesehatan masyarakat, dibutuhkan perawat yang berkualitas yang dihasilkan melalui uji kompetensi.�
Masalah mendasar yang muncul kemudian adalah lembaga yang berwenang menguji kompetensi calon perawat. �Kalau praktik di luar negeri, instansi yang berwenang menguji kompetensi adalah konsil perawat, yaitu semacam badan independen,� timpal Dewi.
PPNI dalam RUU Keperawatan memang tegas menyebut Konsil Keperawatan Indonesia sebagai suatu badan otonom yang bersifat independen. Salah satu tugas konsil ini adalah melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat. Selain itu, Konsil juga bertugas untuk menyusun standar pendidikan dan pembinaan terhadap praktik penyelenggaraan profesi perawat.
Di Indonesia, lembaga Konsil ini dikenal dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tugasnya mirip dengan konsil yang ada dalam RUU Keperawatan. Bedanya, konsil dalam UU Praktik Kedokteran ditujukan bagi dokter umum dan dokter gigi.
Bagi Dewi, seharusnya tidak ada pembedaan perlakuan antara profesi dokter dengan perawat. Toh keduanya sama-sama melayani masyarakat dalam bidang kesehatan. �Jadi kalau di dunia kedokteran ada konsil, harusnya juga ada nursing regulatory body bagi perawat.�
Tidak Bisa Bersaing
Jika dirunut, masalah rekrutmen dan registrasi perawat bisa menimbulkan masalah lain. Salah satunya mengenai daya saing tenaga kerja perawat Indonesia dengan perawat luar negeri.
Harif menuturkan contoh ketika pada suatu waktu tenaga perawat Indonesia hanya bisa �dipakai� sebagai pembantu perawat di Jepang. Sekadar ilustrasi, menurut Harif, dalam dunia keperawatan internasional dikenal empat jenjang. Paling buncit adalah jenjang pembantu perawat.
PPNI merasa riskan dengan kondisi dan kemampuan daya saing perawat Indonesia ini. Apalagi saat ini Indonesia sudah menandatangani Mutual Recognition Arrange (MRA), semacam perjanjian pertukaran perawat di antara negara-negara ASEAN. Januari 2010 nanti, MRA itu sudah resmi berlaku. �Nanti jadi apa perawat Indonesia di luar negeri?� Harif khawatir.
Ketidakprofesionalan rekrutmen dan sistem registrasi perawat juga bisa berdampak pada pelayanan kesehatan ke masyarakat. Dengan kondisi dimana sebaran dokter belum merata di seluruh Indonesia, maka perawat diharapkan bisa menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.
�Walaupun sebenarnya tindakan kesehatan atau medis yang diambil seorang perawat adalah tindakan yang sifatnya emergency. Nantinya perawat itu harus segera melakukan tindakan kolaboratif dengan dokter. Oleh karena itu, kami juga membekali perawat dengan mata kuliah pengobatan yang sifatnya emergency,� papar Dewi.
RUU Keperawatan lebih jauh mengatur mengenai tindakan medik terbatas yang bisa dilakukan oleh perawat yaitu sebagai jenis dan bentuk tindakan medik yang disepakati bersama dengan profesi kedokteran melalui ketetapan menteri kesehatan dan dilakukan oleh perawat professional yang kompeten dibidangnya.
Menurut Harif, pengaturan hukum mengenai kewenangan perawat mengambil tindakan medis terbatas itu mutlak diperlukan untuk melindungi perawat. �Karena ada salah satu pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang bisa dipakai untuk menjerat perawat. Ini terbukti. Ada beberapa perawat kami di daerah yang ditangkapi polisi,� pungkasnya.
(IHW)